Hitung Mundur Menuju Kuburan
Sudah tiga tahun terakhir, hadiah ulang tahun gue setiap tahunnya adalah kehilangan salah satu orang yang gue sayang. Menjalani tragedi demikian bikin birthday sama artinya dengan menunggu siapa orang tersayang yang tereliminasi tahun ini.
Minggu lalu opa meninggal. Opa begitu unik dan penuh kasih sehingga kalo kalian punya opa yang sama, kalian juga pasti akan mulai bertanya-tanya tentang arti kehidupan di tengah sarapan pagi mie babimu. Alangkah singkatnya hidup ini. Cuma sekedipan mata dan tiba-tiba berakhir. Persis kentut. Tinggal nama di batu nisan. Dan kau berjas di dalam tanah, di sebelah kubur istrimu. Ditaburi bunga yang 25 ribu rupiah satu kantongnya sementara di atasmu orang-orang membaca kutipan-kutipan alkitab yang memberi argumen kenapa keluargamu yang kristen seharusnya bahagia kau terbaring kaku di bawah sana.
Waktu mereka turunkan peti opa ke dalam tanah, gue bilang sama diri gue sendiri, “Mungkin dalam lima puluh satu tahun lagi lo akan ada di dalam sana.”
Pagi ini, lima puluh satu tahun itu jadi lima puluh.
Orang-orang bilang Happy Birthday. Gue makin dekat ke masa di mana gue berbaring di bawah keramik-keramik putih tapi orang-orang menyelamati gue. Alangkah pedisnya dunia ini.
Siang ini gue jalan kaki buat makan siang di warung yang pemiliknya punya anak cewek cakep. Ada babi cincang, babi merah, ayam kecap, capcai, ayam goreng, daging maling, semua makanan yang bikin vegetarian geli. Di tengah jalan gue ngeliat seorang wanita ditabrak motor. Dalam cara yang paling konyol yang pernah gue liat. Lalu seperti sinetron, kamera zoom in. Kamera zoom out. Kamera zoom in. Kamera zoom out. Iklan.
…shit.
Mungkin tidak perlu lima puluh tahun buat kalian mengantar gue ke bawah sana. Apalah artinya senang makan babi merah hari ini, jikalau tiap saat bisa jadi moment di mana kalian sibuk latihan koor buat persembahan pujian di kebaktian penghiburanku. Akhirnya gue cuma makan dada goreng. Sop kentang sosis. Dan telor kecap. Alangkah pedisnya dunia ini.

Makanan dari surga.
Gue nggak begitu tau kenapa gue harus happy hari ini. Walau telor kecap tadi sumpah enaknya bukan main. Begitu enaknya sampe buat orang yang nyicip terlena dan lupa makan ikan kakapnya. Tapi lalu gue bertemu wajah yang pernah bilang, “Saya bersyukur hari ini dapat udara buat bernapas.” Lahir jadi melankolis memang sumpah keren banget, tapi alangkah irinya pada orang-orang yang hidupnya keliatan begitu simple tak pernah ambil pusing pada apa pun. “Opa mati. Oh ya sudah.” Alangkah minimalis dan zen.
Aku iri pada orang-orang demikian.
Gue pergi nonton dengan tiga orang yang merajai tangga ranking “Temen Yosu yang paling aneh”.
- Yang satu nggak tau caranya marah, nggak tau caranya menolak orang dan nggak tau caranya bohong.
- Yang satu lagi begitu polosnya sehingga kalo lo ngecengin dia, dia nggak ngerti siapa yang lo kecengin. Tunggu. Dia bahkan nggak ngerti apa arti kata yang lo pake buat ngecengin dia. Tunggu. Dia bahkan nggak tau lo lagi ngecengin dia.
- Sementara yang satu lagi… nggak tau deh dia gimana. Gue asal taro aja dia di tangga rangking itu, biar bisa bareng temen-temennya. Kasian kalo sendirian. Yang pasti di jidatnya ada tulisan “Kecengin aku plis, plis, plis banget”. Oke mungkin nggak sepanjang itu, tapi kurang lebih artinya sama. Orang lemah dan baik hati kayak gue udah tentu nggak tahan buat ngabulin keinginannya.
Ya Tuhan, bukannya meragukan kemampuanMu menempatkan orang-orang, tapi jujur aja butuh kesabaran lebih temenan ama mereka. Suer.
Siang itu kami mengeluarkan uang yang dikumpulkan dengan jerih payah begadang tengah malam agar bisa melihat Hollywood merusak pengetahuan kami tentang mitologi Yunani yang benar. Hmm. Maklumlah. Namanya juga remaja. Kami labil. Kami rela menukar sesuatu yang fundamental untuk sesuatu yang komplementer, misalnya “karena gambarnya bagus”.

Suck at history. Literally.
Long story short, something unexpected came up.
I had serious fun. :] Terakhir gue ketawa sesinting itu mungkin sekitar, hmm, masa Mesolitikum.
I had so much fun today that I feel sad. I feel sad for wasting my last birthdays! Now that’s not gonna happen anymore. Ever.
Albert Lee, DiAn ChiBi, Meilisa Tiffani & Andrian Hou unexpectedly showed me a thing or two about birthdays and life. Pasti nggak sengaja tuh, karena gue yakin pola pikir mereka belum sampe buat semanipulatif itu. Mungkin dalam 100 atau 150 tahun lagi.
Setiap orang punya peran. Pemimpin, pemecah masalah, pembicara, penyembuh, pendoa, penggembira, penulis blog yang isinya bullshit, objek derita, tukang bawa tas, ahli solar guard, korban angkatan, tukang pesen ujang ke bawah.
Ulang tahun adalah pengingat masa bakti akan peran itu. Nggak ada yang tahu seberapa lama masa baktimu, tapi yang pasti banyak orang yang nggak mau sebentar jadi pemimpin atau selamanya jadi objek derita.
Yang gue tahu hari ini adalah, gue akan jadi yang terbaik lakuin peran gue karena gue pengen, suatu saat nanti, waktu gue berjas di dalam tanah, kalian akan menaburi kubur gue sambil menangis histeris seperti orang gila! Karena jauh di dalam lubuk hati kalian, walaupun kalian malu-malu mengakuinya, kalian sadar tidak ada orang lain yang bisa lakuin peran gue sama baiknya dan hidup tidak akan sama lagi tanpa Yosua Omimaru.
*plis jangan salah eja namaku di batu nisan*
Sampai jumpa di ulang tahun gue yang ke 26!
Dan bila hari itu tiba, berusahalah untuk tidak tereliminasi.
ajarin gue caranya marah, caranya menolak orang dan caranya bo… kalo ini jangan. wahahahaha..
ok.. kawan. ok. tq.
ok.. kawan. ok. sama-sama.
Lama tak muncul, melankolismu makin parah, kawan!
Ahahaha. Ini siapa yah?
Sorry. lupa permisi. biasaaa… kebiasaan buruk jalan lewat depan orang kagak permisi. Met’ kenal. nulis terus yach, kutunggu….